GOETHE : DIPLOMASI BUDAYA TIMUR DAN BARAT

Dialog Seri Puisi Jerman IV

Wawancara Bersama Berthold Damshäuser (Universitas Bonn)

Berthold Damshäuser (Universitas Bonn)

Memang tak terelakkan, dunia kini seakan-akan terbagi dalam dua landasan kebudayaan yang besar, yakni Timur dan Barat. Menimbang aneka permasalahan yang tengah terjadi antara kedua kutub kultural ini, yang penuh prasangka dan stigma, sejauh manakah sebuah upaya diplomasi budaya melalui sastra dapat dilakukan?  Bagaimanakah peran Johann Wolfgang von Goethe, pujangga sekaligus ilmuwan Jerman, kelahiran Frankfurt, 28 Agustus 1749, terkait persoalan-persoalan tersebut dan sejauh mana pula pikiran-pikiran dan karyanya memberi inspirasi hubungan yang setara dan saling pengertian ?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mengemuka dalam acara ‘Pembacaan Puisi dan Diskusi Seri Puisi Jerman IV’ di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana pada Kamis, 4 Maret 2010. Kegiatan yang menghadirkan Berthold Damshäuser, pemerhati masalah sastra Indonesia dan Jerman yang juga dosen Universitas Bonn, Jerman, diselenggarakan oleh Goethe-Institut Jakarta, Udayana Scientific Club dan Komunitas Sahaja. Selain itu, acara ini juga menyajikan pula pembacaan puisi karya-karya Goethe oleh penyair-penyair Bali, yakni Eka Pranita Dewi, Wayan Sunarta, Tan Lioe Ie, Ni Made Purnamasari, Ni Made Frischa Aswarini dan Ni Putu Rastiti.

Dalam dialog yang dipandu oleh Warih Wisatsana, dihadiri oleh pelajar SMA, mahasiswa, akademisi, budayawan serta sastrawan semisal Oka Rusmini, Mas Ruscitadewi, kritikus sastra Nyoman Darma Putra, mengemuka pentingnya memperjuangkan sastra sebagai bagian yang turut memberi warna pertumbuhan kepribadian seseorang, bahkan masyarakat dan bangsa.

« Melalui sastra, baik karya-karya puisi maupun prosa, kita dapat mempelajari dan menyelami kehidupan batin dan sosial suatu masyarakat maupun bangsa. Dengan demikian, terbuka peluang untuk saling memahami dan saling pengertian antar kultur, dan bahkan antar bangsa, guna menghindari prasangka-prasangka yang menimbulkan ketegangan-ketegangan yang bersifat global. Sastra, termasuk upaya penerjemahan, dapat menjadi sarana diplomasi yang efektif serta strategis, » begitu kata Berthold Damshäuser yang bersama Agus R. Sarjono telah menerjemahkan karya berbagai penyair Jerman mumpuni, semisal Rainer Maria Rilke, Bertold Brecht, Paul Celan, Johann Wolfgang von Goethe dan yang terkini, Hans Magnus Enzenberger.

Berikut adalah petikan wawancara bersama Berthold Damshäuser yang juga tergabung dalam Komisi Indonesia Jerman ini dan telah tiga kali mengadakan lawatan sastra di Bali.

Mengapa Anda memilih untuk menerjemahkan karya Johann Wolfgang von Goethe pada Seri Puisi Jerman yang keempat ini?

Saya kira adalah penting untuk mengalih-bahasakan karya-karya penyair Jerman ini, bukan hanya karena ia seorang pujangga yang paling gemilang dalam sejarah sastra dunia, melainkan juga seorang ilmuwan jenius, yang setara dengan Leonardo da Vinci dari abad-abad sebelumnya. Goethe tak hanya dikenal sebagai penyair, melainkan juga pelukis, budayawan, filsuf, saintis, politikus, bahkan juga negarawan.

Karya-karya Goethe sendiri tidak hanya menunjukkan keindahan estetika, melainkan juga mengandung suatu semangat untuk melakukan dialog budaya, sebagaimana yang tercermin dalam salah satu karyanya yang monumental, Diwan Timur dan Barat. Kesadaran dialog inilah yang ingin dibagikan lebih jauh kepada pembaca-pembacanya.

Menurut Anda, mengapa Goethe, pada masa itu, justru mengembangkan kesadaran dialog budaya antara Timur dan Barat? Tidakkah kala itu, sekitar tahun 1700-an, bangsa Eropa justru melakukan kolonialisasi terhadap bangsa-bangsa di dunia Timur?

Justru karena menimbang hal itulah, Goethe merasa bahwa adalah suatu hal yang penting untuk membuka diri terhadap kebudayaan Timur. Ia membayangkan adanya kehidupan kebersamaan yang lintas budaya dan bangsa, di mana segala yang ada tak lain adalah kepunyaan dan tanggung jawab bersama. Hal ini juga tercermin dalam karya-karyanya, di mana tema-tema manusia selalu dijadikan topik yang sentral. Tak hanya itu, ia juga meramu isu-isu yang bersifat ilmiah, sebagaimana dalam Metamorphose der Pflanzen (Metamorfosis Tumbuh-Tumbuhan). Dari hal ini, nyatalah bahwa berusaha untuk melihat dan juga memperlihatkan bahwa—mengutip pendapat Goethe sendiri—‘segala keduniawian mengandung rahasia luhur yang nyata’.

Selain itu, patut juga diingat, sedari usia 15 tahun, Goethe sendiri telah mempelajari teks-teks puisi Timur Tengah, khususnya karya Rumi. Melalui bacaannya ini serta aneka pengalaman hidupnya, Goethe senantiasa berupaya memahami dan menerangkan hakikat kehidupan manusia serta keteraturan spiritual yang berada di balik segala yang nampak.

Karenanya, rasanya tak berlebihan bila kita menyimpulkan, bahwa Goethe adalah seorang universalis sejati, tak terikat pada budaya Barat ataupun Timur.

Di manakah kiranya letak keunggulan karya-karya Goethe, khususnya puisi?

Pada Goethe, kita akan menemukan puisi bermetrum dan berima teratur. Namun, selain itu, ada juga puisi-puisinya yang bermetrum bebas. Bila kita membaca karya puisinya, akan jelas tersirat betapa ia sungguh menguasai bentuk puisi yang mentradisi pada zamannya, maupun juga pada zaman sebelumnya. Kendati demikian, ia berhasil menulis dengan gayanya sendiri yang tak tertiru oleh penyair lainnya.

Selain itu, dari sisi tema, sebagaimana yang telah saya singgung tadi, ia mengambil topik yang beragam, semisal ilmu alam, filsafat, serta manusia pada umumnya. Inilah yang menjadikan puisi-puisi Goethe begitu kaya, bukan hanya indah secara estetik, namun juga kuat dalam semantik.

Diskusi yang berlangsung selama hampir lebih dari satu jam itu tidak hanya semata mengulas tentang keindahan karya ataupun latar belakang kehidupan Johann Wolfgang von Goethe serta kesulitan-kesulitan dalam penerjemahan, melainkan juga membahas sejauh mana pengaruh karya-karya penyair Jerman mumpuni ini dalam meletakkan dasar-dasar saling pengertian antara Timur dan Barat, yang giliran berikutnya dapat dikembangkan menjadi diplomasi budaya guna menjembatani perbedaan kultural yang ada. Berikut adalah pendapat Berthold Damshäuser terkait usaha diplomasi budaya yang dapat dilakukan guna menjalin suatu hubungan yang erat dan harmonis.

Menurut Anda, sejauh mana upaya Goethe, khususnya karya sastra, dapat mempengaruhi cara pandang masyarakat untuk melakukan upaya diplomasi budaya?

Sebelumnya, patut diingat, bahwa yang hendak diperjuangkan oleh Goethe adalah semangat universalis yang berlandaskan atas persamaan dan persaudaraan. Melalui penerjemahan karya sastra Goethe, kita tidak hanya mengalih-bahasakan kata ataupun metafor, melainkan juga sekaligus berupaya menyalurkan gagasan-gagasan serta makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, melalui penerjemahan, kita juga sekaligus menyelami budaya dari bangsa lainnya, untuk kemudian dapat menimbulkan suatu pemahaman yang dilandasi oleh empati dan simpati. Sebagaimana dinyatakan oleh Warih sewaktu mengakhiri dialog, yakni pentingnya memperjuangkan manusia dan kemanusiaan kita melalui susastra guna melampaui prasangka serta perbedaan-perbedaan yang tidak esensial.

Goethe memang juga seorang humanis, dan ia melihat karya-karya puisi dari Timur yang memiliki keindahan dan renungan, yang nyatanya dapat memperkaya kesusastraan Barat. Puisi-puisinya seringkali merupakan dialog dengan karya-karya penyair sufi seperti Rumi ataupun Hafiz. Tak boleh dilupakan, karya Goethe yang terangkum dalam Diwan Timur dan Barat merupakan renungan atas karya-karya Rumi.

Saat dialog, terdapat pertanyaan mengenai kondisi dan situasi jurusan Sastra Indonesia di Jerman. Dapatkah Anda menjelaskan lebih jauh tentang hal ini, serta upaya apa sajakah yang dapat dilakukan untuk mengenalkan sastra Indonesia di Eropa, dan Jerman khususnya ?

Di Bonn, saya pernah tergabung dalam program studi penerjemahan bahasa dan Sastra Indonesia selama 20 tahun. Namun, oleh karena kebijakan universitas, program studi ini dihapuskan. Selain itu, jurusan-jurusan yang terkait dengan bahasa dan sastra dipindahkan dalam sebuah program studi baru, yang diberi nama studi kawasan, misalnya Studi Kawasan Asia Tenggara. Anda dapat bayangkan, dalam program studi itu, tak ada mata kuliah bahasa dan sastra, apalagi penerjemahan. Semuanya diganti dengan program etnologi, antropologi dan ekonomi, dan bahasa, ya, hanya jadi pelengkap pengetahuan para ahli kawasan. Karenanya, makin sedikit saja jumlah pengkaji sastra Indonesia di Bonn. Kendati begitu, saya rasa masih ada yang menekuni sastra Indonesia di Jerman, beberapa di Köln, dan mungkin ada juga di Hamburg.

Terlebih lagi, sastra Indonesia juga belum dikenal secara luas di Jerman. Di negeri saya, karya-karya penulis Indonesia hanya diterbitkan dalam oplah yang kecil, dan tak dapat disebar ke toko buku besar. Dan sudah barang tentu hanya sedikit yang dapat mengapresiasinya. Jepang dan Cina amat agresif memperkenalkan sastra negaranya. Begitu juga India dan Korea. Dibandingkan Vietnam, Indonesia pun masih kalah.

Karenanya, bila sastra Indonesia ingin dikenal luas di Jerman, bahkan juga di Eropa, pemerintah mestilah gencar melakukan upaya pengenalan karya-karya sastranya. Selama ini, pemerintah Indonesia hanya mengirimkan delegasi-delegasi seni pertunjukan, entah semisal tari-tarian ataupun musik tradisional. Menurut saya, itu bukan cara yang strategis. Menurut saya, seharusnya upaya penerjemahan sastra Indonesia ke bahasa asing lebih gencar dilakukan.

Di Jerman sendiri, pemerintahnya, dalam hal ini Departemen Luar Negeri wajib membuat agenda kegiatan untuk memperkenalkan karya Jerman ke negara lainnya. Karena itulah, Goethe Institut didirikan. Tujuan utamanya adalah memperkenalkan dan sekaligus juga menyebarluaskan kebudayaan Jerman.

Kalau boleh saya usulkan, Indonesia semestinya membentuk pusat-pusat kebudayaan Indonesia di Eropa. Bila semua hal ini dilakukan, barulah negara lain dapat mengenal karya sastra Indonesia, serta terbuka peluang untuk terjadi penyaluran gagasan dan bahkan juga diplomasi budaya.

Pertanyaan terakhir, mengapa Anda tertarik menekuni Bahasa Indonesia?

Ah, saya bukan hanya menekuni, bahkan juga mencintai Bahasa Indonesia dan juga bangsa ini. Bahkan tesis saya adalah tentang pengarang Indonesia Trisno Soemardjo. Saya juga melanjutkan program pascasarjana di Universitas Indonesia, memperoleh darmasiswa dari Pemerintah Indonesia. Ketertarikan saya dengan bahasa Indonesia bermula dari mendengar percakapan orang-orang Indonesia yang kuliah di Jerman sewaktu muda dulu. Rasanya Bahasa Indonesia terdengar indah dan membuat saya ingin mengetahui lebih jauh tentang masyarakat dan kebudayaannya. Ya, saya senang dengan acara Seri Puisi Jerman yang diadakan teman-teman Bali. Saya kira ini terbilang sukses, publiknya beragam serta terlihat sangat antusias untuk berdiskusi.

(Ni Made Purnamasari, tulisan ini telah dimuat di Bali Post Minggu, 7 Maret 2010)

Tinggalkan komentar