DUA MERAWAT KEBEBASAN: Telaah Humanisme Goenawan Mohamad dan Pramoedya Ananta Toer

Pada mulanya dia adalah seorang anak muda, yang diam-diam menulis puisi di usianya yang kedelapan-belas. Itulah kebebasan pertamanya sebagai seorang penyair. Kebebasan yang sekaligus melemparkannya pada dunia penciptaan yang menggelisahkan.[1]

Dia adalah anak muda yang dulu begitu percaya kata-kata Bung Karno bahwa revolusi menolak hari kemarin dan membangun hari ini. Dia menuliskannya dalam esai-esai, permenungannya atas kelindan zaman, sembari dengan naif meyakini kemerdekaan kreatifnya masih bisa ia pertahankan.

Dia adalah anak muda yang berada dalam simpang pilihannya; seorang yang mengakui kemalin-kundangannya, yang selalu asing dengan tradisinya sendiri sekaligus kenyataan sejarah pada masanya. Dia menjadi saksi dari sebuah zaman penuh gejolak, zaman ketika baginya hanya ada 1 revolusi, 1.000 slogan dan 0 puisi.

Kemudian dia bersikap, menurut cara yang diyakininya: menandatangani Manifes Kebudayaan. Bandul berayun berujung pelarangannya dan dia justru memandang itu semua sebagai kemerdekaan dalam diam. Lalu tanpa diduga, zaman ternyata berbalik, kali ini jauh mendahsyatkan. Sebuah orde tumbang, dan orde lain yang lebih otoriter pun bangkit.

Dialah Goenawan Mohamad. Dan di seberang sana, dari sisi yang gelap dengan suara nan bertenaga, seolah-olah selalu ada Pramoedya Ananta Toer, sang pengarang Lekra terkemuka itu.

Pada medio tahun 2000 kedua tokoh ini berbalas pesan lewat kolom di Majalah TEMPO. Surat-surat terbuka itu tercatat sebagai momen terakhir mereka bersilang pendapat sebelum Pram berpulang pada 30 April 2006. Yang mereka perdebatkan: apa sebab Pram tidak mau menerima permintaan maaf dari Gus Dur, Presiden Republik Indonesia, atas peristiwa sejarah 1960-an kala itu? Mengapa Pram seolah-olah tidak ingin “menutup pintu masa lalu menuju pintu masa depan” sebagaimana yang dilakukan Nelson Mandela?[2]

Jawaban Pram tegas: “Saya bukan Mandela, dan tidak ingin menjadi dia.”

Kelanjutannya pun membuat terhenyak. Permintaan maaf itu dianggapnya sebagai basa-basi karena tidak menyelesaikan persoalan dan tanggungjawab negara atas pemenjaraan, penyingkiran, penyiksaan yang Pram dan teman-temannya alami. “Yang saya inginkan ialah tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Orang seperti saya menderita karena tiadanya hukum dan keadilan. Saya kira masalah ini urusan negara, menyangkut DPR dan MPR, tetapi mereka tidak bicara apa-apa. Itu sebabnya saya menganggapnya sebagai basa basi…Basa-basi tidak lagi bisa menghibur saya,” pungkas Pramoedya.

Apa sebenarnya yang membuat GM dan Pram seakan selalu berselisih jalan? Apakah semata lantaran sikap-sikap politik pada tahun 1960-an itu, di mana Pram begitu erat dengan Lekra sementara GM menjadi salah satu pendukung Manifes Kebudayaan? Adakah perdebatan mereka menyangkut pula perbedaan perspektif tentang kesenian dan kesusastraan? Atau malahan yang lebih esensial dari itu, yakni cara mereka, sebagai sastrawan dan sebagai manusia, dalam menyikapi kehidupan?

Subyek dan Kebebasan yang Padat

Manusia dan dunianya yang terkemuka dalam karya-karya sastra memang selalu menarik buat dibaca. Irisan laku dan pikir para karakter dalam menyikapi konflik, begitu juga permainan watak yang membuka tabir tabiat tokoh-tokohnya, acap kali menggoda kita untuk masuk dalam jalinan cerita—dan di sisi lain mengundang serangkaian perenungan.

Hanya saja apakah dunia dalam sastra mesti berbicara tentang kemelut manusianya saja? Berbagai diskusi dan kritik perihal cara pandang subyektif antroposentris di dunia kreativitas, bahwa manusia adalah pusat segala kisah, telah menyanggahnya. Manusia tiada beda dengan karakter-karakter lain yang mungkin tercipta: seluruhnya ialah pembangun dan penguat kisah. Apa yang selama ini menjadi pusat narasi, mulai dari dewa-dewa yang ternyata mencerminkan sifat-sifat manusia, figur pahlawan yang trengginas pemberani, sampai sosok gelandangan tak bernama kini disandingkan dengan suara dari para tokoh seperti hantu, hewan, bahkan benda-benda mati.

Tapi, bukankah karya sastra dibuat oleh pengarang—seorang manusia yang mesti juga menyuarakan sikap-sikapnya mengenai kehidupan? Di tengah berbagai kemungkinan kreativitas, menuliskan tokoh manusia untuk membicarakan kemanusiaannya memanglah jadi pilihan yang paling mudah. Hanya saja, buat Pramoedya Ananta Toer, pilihan penceritaan subyektif seperti ini bukanlah soal mudah atau tidak. Dia meyakini cara ini sebagai cerminan dirinya—sosok ke-aku-an—yang bergelut dan berjuang meraih hak-hak kemanusiaannya di tengah revolusi yang penuh konflik; sesuatu yang kelak dikritik oleh Goenawan Mohammad (GM) sebagai ‘kuatnya posisi sang Subyek’.

Untuk memahami konteks karya Pram, penting untuk menilik latar belakang penciptaannya.

Jurnal Indonesia terbitan Cornell University bulan Oktober 1983 memuat sebuah esai proses kreatif Pramoedya. Diterjemahkan oleh Benedict Anderson, inilah kiranya tulisan yang paling rinci dari Pram soal latar belakang penciptaan karyanya, terkhusus Perburuan dan Keluarga Gerilya. Yang menarik dari tulisan tertanggal 1 Juni 1983 itu adalah kilas balik pengalaman Pram tatkala momen menuju patiraga di bilik sel penjara Bukit Duri pada tahun 1948; betapa di sehela napas antara hidup dan mati, dibayangi pertanyaan tentang diri dengan Yang Ilahi, dia menyadari hadirnya pencerahan yang lantas menjadi elan kreatifnya selama ini, bahwa proses kreativitas tak beda dengan pengalaman meditatif, conditio sine qua non, di mana manusia/kreator menyatu dengan Sang Pencipta, dalam kesadaran yang melampaui ruang-waktu dan hanya akan terjadi apabila “diri memiliki kebebasan pribadi yang padat”.

Penjelasan selanjutnya tentang proses kreatif Pram ialah bahwa kerja kreatif sejalan dengan memuliakan Tuhan, bersama-Nya melahirkan entitas baru yang kemudian hidup di luar kerangka waktu. Kondisi entitas baru ini tetap sebagaimana kelahirannya, kebal dari pujian maupun cacian, tak tergoyahkan di hadapan kritisisme, analisis, dan interpretasi akademik. Tafsiran yang beragam terhadapnya justru menunjukkan sisi kemanusiaannya dan kendati dilakukan interpretasi berbeda sepanjang masa, dia tidak akan pernah menjadi bentuk anakronisme. Kemudian harus ditambahkan bahwa ada dua bentuk kreasi menurut Pram, yakni manifestasi dunia alam yang diciptakan Tuhan, dan segala dari manusia yang merupakan pernyataan dari kreatornya.

Lalu, apa yang menggerakkan niatan kreatif seseorang? Pram meyakini kekuatan nalar sebagai jawabannya. Lebih lanjut dia menambahkan, setiap orang memiliki bekal penciptaannya masing-masing—dia menyebutnya sebagai pesangon, sebentuk data yang terakumulasi dari pengalaman dan sensasi, sekumpulan akal dan perasaan, yang semuanya saling berpilin. Beberapa orang mungkin memiliki pesangon yang sama namun hanya mereka yang tergerak oleh kekuatan nalar, yang terdorong oleh kesadaran saja, akan sanggup melakukan kreativitas.

Ada dua kata kunci dalam penjelasan proses kreatif Pram ini, yakni posisi sang Diri dan kebebasan yang padat. Ciri subyektivitas sudah tentu kentara; apa yang melekat pada diri si pengarang serta merta turut mempengaruhi kreativitasnya.

Penjabaran konsep kreatif seperti ini tidak lepas dari dari gagasan materialisme subyektif Marx yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk estetika realisme sosialis. Materialisme menurut Marx berbeda dengan pengertian klasik abad ke-18, di mana benda, realitas, keindrawian hanya dimengerti dalam sebatas obyek atau kontemplasi tanpa menyinggung aktivitas atau laku manusia yang menyebabkan terbentuknya realitas tersebut. Marx membalikkan sentralitas atas obyek ini dengan cara menunjukan sentralitas subyek (dalam hal ini manusia) yang mengkonstruksi realitas lewat laku dan kerja. Inilah “materialisme subyektif” yang menerangkan kepada kita bahwa selain obyek material, realitas dipengaruhi pula oleh unsur praxis manusia.

Kita cermati kata kunci pertama dari proses kreatif Pram: posisi sang Diri. Terinspirasi dari sebuah buku Jawa klasik yang dibacanya semasa kanak, Pram mengibaratkan dirinya sebagai penunggang kuda. Sang penunggang tak ubahnya perlambang nalar, dan kuda yang dipacu ialah tubuh dan tenaganya sendiri. Diri ini seolah-olah melaju tanpa terpengaruh sesiapapun atau apapun, bersipacu dalam zaman penuh gejolak. Sikap dasar sang diri seperti ini menemukan momentumnya di masa-masa hidup Pram yang berkelindan di masa-masa revolusi; Diri manusia menjadi tokoh yang sentripetal dalam dunia kenyataan, rekaan, maupun pernyataan, terus berkembang menjadi napas prosa-prosa karangannya.

Di sisi yang lain, GM melihat kedirian Pram ini dalam tinjauan yang lebih kritis. Meskipun Pram memosisikan tokoh-tokoh rekaannya dalam polemik revolusi, GM menilai karakteristik mereka relatif berbeda dengan “l’evénement” ala Badiou untuk Revolusi Perancis: peristiwa dahsyat yang melahirkan subyek penentu keputusan di tengah hal-hal yang tak dapat diputuskan. Subyek Pram, dalam kacamata GM, lebih condong ke subyektivitas modern yang otonom.

Subyektivitas ini pula, menurut GM, amat mungkin memunculkan ironi. Peristiwa revolusi yang sedemikian luar biasa dapat memunculkan laku-laku yang melampaui batas nalar bahkan kontradiktif dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Keluarga Gerilya karya Pram misalnya, menampilkan adegan Saaman yang justru dengan siap mengorbankan “kemanusiaannya” dengan menyaksikan adiknya mengeksekusi ayah mereka yang jadi prajurit musuh. Namun, bagi Pram, ini adalah humanisme menurutnya sendiri, sekali lagi, kemanusiaan yang otonom, dan mewakili sikap-sikap personal demi meneguhkan nilai-nilai humanisme yang lain yang diangankannya.

Bagi GM, menyitir Mikhail Bakhtin, novel menjadi wujud cara pengarangnya bekerja dengan kepekaan, bahkan pula kesadaran, di mana tuturannya, nada bicara, sikap, pandangan dan nilai-nilainya—singkatnya: bahasa—menjadi ekspresi yang niscaya. Ada yang disebut heteroglosia, yakni keragaman bahasa dari timbunan pengalaman sosial dan psikologis, yang dapat saja menyeruak, didialogkan, bahkan dipertentangkan secara ideologis dan intens lewat karya. Keragaman ini sejalan dengan “persepsi bahasa secara Galilei”: di alam semesta, tak ada bintang yang jadi pusat[3].

Dibandingkan puisi lirik, di mata GM, novel merupakan perangkat yang lebih tepat untuk membicarakan pembayangan sebuah “bangsa”, “tanah air” atau bahkan “humanisme”. Puisi lirik adalah sebuah dunia yang batas-batasnya sering tidak jelas, sedangan novel punya kualitas lain di mana batas yang kadang tak disengaja, atau mau tak mau, dapat tampil. Umpamanya, bagaimana masa lalu bisa turut hadir dalam Arus Balik atau Tetralogi Buru karya Pramoedya, yang disebut GM sebagai “pergulatan untuk memberi arti terhadap sepotong warisan sejarah”.

Karena heteroglosia-nya serta kemampuannya merekam lebih dalam tentang berbagai hal, novel bisa mendari medium yang lebih bebas (sekaligus terukur) untuk merepresentasikan masyarakat apa yang dibayangkannya, lengkap dengan unsur-unsur pembentuk ruang sosialnya: sehimpun kata-benda jamak yang menyusun detail demi detail. Kampung-kampung, gang-gang, lalu lintas, lampu gas…semuanya dikutip Benedict Anderson dari Semarang Hitam karya Mas Marco menggambarkan manusia dan kelompok seperti apa yang digambarkan pengarangnya berikut dunia rinci yang ditinggalinya.

Lalu bagaimana dengan novel-novel Pram? Terkait kata kunci kedua: kebebasan yang padat, Pram menekankan pentingnya subyektivitas pengarang dan menggaris-bawahi hasil kreasi tak akan tergoyahkan oleh pujian, kritik, bahkan pemberangusan. Konsekuensi dari keyakinan ini sudah tentu mengarah ke sentralitas sang pengarang yang merasa leluasa untuk menentukan segala sesuatu dalam dunia rekaannya.

Tapi, apakah karenanya Pram kemudian menjadi “pengarang yang tiran” terhadap dunia rekaannya, yang bisa saja mengabaikan segala detail, logika, bahkan nilai hanya demi mempertahankan ideologi serta visi kreativitasnya?

Dalam Puisi dan Antipuisi GM menyoroti beberapa kelemahan prosa-prosa Pram yang mana tokoh-tokohnya dianggap lahir bukan karena discovery melainkan karena invensi, terkhusus pada karya yang ditulis tahun 1960-an. Menurut GM, lewat prosa-prosa ini kentara sang pengarang membuat faktualitas jadi tak langsung relevan. Contoh yang diangkat ialah novel Larasati (1960), mengetengahkan tokoh utama Ara, konon seorang bintang panggung dan bintang film usia 27 tahun. Kesohorannya membuat Ara selalu dielu-elukan oleh para pejuang revolusi, dan ketika dirinya dihadapkan dengan tentara KNIL untuk main film propaganda anti-revolusi Ara pun menolak. Alih-alih disekap dalam penjara kaum ekstrimis, Ara justru diantarkan pulang ke rumah ibunya di kampung.

Sebagai pembaca, GM merasa tidak mendapat cukup gambaran untuk mengenal tokoh perempuan ini. Film macam apa yang dibintanginya, sejak kapan dia di dunia panggung, dan bagaimana relasinya dengan figur yang lain, seakan-akan tidak perlu dibincangkan. Sang pengarang seakan mengangkatnya dari ketiadaan, menyuguhkannya sebagai Ara yang tenar, tanpa elaborasi latar belakang. Yang penting ialah sosoknya hari ini, sang aku, dan penjelasan lain-lain tak terlalu diperlukan.

Dan harus ditambahkan bahwa GM mencatat perubahan kecenderungan ‘ke-aku-an’ tunggal ini ke penyadaran akan hadirnya sosok-sosok jamak lain yang sama pentingnya, tergambar dalam Mereka yang Dilumpuhkan. Meski begitu, dasar Pramisme, menurut GM, sama sekali tidak berubah, masih berpusat pada “manusia” ketimbang pada denyut kehidupan di mana mereka mengada. Ke-diri-an pengarang sebagai manusia terlalu kuat sehingga meminggirkan entitas-entitas yang lain. Tapi, bagi Pram, ini adalah keniscayaan manusia yang hidup dalam kemelut perjuangan. Diri mesti bertahan, dan hidup. Karenanya, pergulatannya mencerminkan sikap-sikap manusia dalam zamannya.

Kebebasan yang padat dalam momentum penciptaan menurut Pram tadi agaknya berbeda dengan kebebasan ekspresi para pengarang dalam dunianya sehari-hari. Ada masanya ketika keberagaman tak mendapatkan tempatnya dalam sastra Indonesia. Dan untuk membicarakan ini, mau tak mau kita menyinggung babakan sejarah yang problematik: tegangan polemik tahun 1960-an yang berujung pada peristiwa berdarah pemberangusan kelompok kiri di berbagai daerah.

Bagi sebagian kalangan pada masa itu, indoktrinasi demokrasi terpimpin mendorong penggunaan bahasa penuh jargon yang membekukan daya analitis terhadap makna kata. Akibatnya yang langsung, bagi seorang penulis, ialah menjadi kakunya rentangan ekspresi bahasa Indonesia, serta umumnya berpusar pada karakter dan corak agresif. GM menyebutkan, tidak mudah bagi seorang penyair untuk hidup dalam rangkaian imaji yang konkret seperti itu dan kian sedikit sastrawan yang mampu memperlakukan bahasa sebagai sumber avontur dan orisinalitas.[4]

Sikap mempertahankan kebebasan berekspresi ini terutang dalam tulisan editorial HB. Jassin di Majalah Sastra edisi Januari 1962, berupa semacam pertanggungjawaban redaksi dan pembelaan atas dimuatnya dua cerita pendek B. Sularto yang diserang kelompok Lekra. Jassin menolak “penyempitan daerah pengalaman” seorang sastrawan, “seperti ternyata dari hasil-hasil kesusastraan yang didasarkan pada slogan-slogan politik dan ideologi semata-mata.” Bagi Jassin, hasil penyempitan ini mau tak mau akan “kering dan kerdil seperti yang kita lihat di masa Jepang.”[5] Tulisan ini menimbulkan reaksi lebih lanjut. Mulai 16 Maret 1962, Pramoedya Ananta Toer membuat lembar kebudayaan di Bintang Timur, bernama Lentera, yang menegaskan bahwa cerita B. Sularto yang dimuat itu bersifat “reaksioner” dan bahwa penjelasan Jassin telah menunjukkan “garis politiknya”.

Situasi sejak itu terus gulung-gemulung, membuat keterpilahan yang begitu kentara antara Manifes dan Lekra—kendati bila dilihat kembali agaknya keduanya sempat mempunyai persamaan juga. Misalnya, pada pengantar Gema Tanah Air, bunga rampai cerita pendek dan sajak-sajak yang terbit 1942 – 1948, Jassin justru menulis bahwa adanya seni realisme sosialis akan memperkaya kesusastraan Indonesia, jika ada kesungguhan dan kejujuran pada penganut-penganutnya, kunci segala seni yang murni. GM pun sempat meyakini hal ini, sebelum dengan seiring waktu dia menyaksikan betapa realisme-sosialis telah kehilangan jiwa dan bertolak menjadi sekadar penggaung slogan dan indoktrinasi yang beku.

Rangkaian peristiwa sejarah yang terjadi kemudian telah kita ketahui bersama. Dan inilah lagi-lagi ironi: bahwa kebebasan yang padat dari Pramoedya ternyata justru tak terjadi di kedua kubu. Yang satu terbayangi garis ideologi dan politik, yang lain serba terancam tuduhan reaksioner—sebuah kata yang dapat berujung pada serangan bertubi-tubi.

Subyek, Kenyataan, dan Pernyataan

Kuatnya subyektifitas ala Pram dianggap sebagai sebab berjaraknya ‘sang manusia’ dengan ‘keterangan atau keadaan’. Sang manusia atau sang diri selalu dianggap sebagai ‘saksi’ atau bahkan syarat penting hadirnya kenyataan dan mengubahnya menjadi pernyataan sikap. Cara pandang ini, menurut GM tidak terlepas dari pokok pikiran Pierre Teilhard de Chardin yang ditafsirkan Pram sebagai “kelanjutan Renaissance, Humanisme, Aufklarung” di mana posisi manusia menjadi tak terbantahkan.

Perspektif ini lekat pula dengan tradisi pemikiran modern ini Indonesia, ditunjukkan dengan adanya Marxisme yang melandasi pergerakan Indonesia dan tumbuh dari semangat revolusi. Di sini, penulis sekali lagi menjadi saksi, pewarta kenyataan, dan sedapat mungkin menghadirkannya sebagai peristiwa yang layak dibaca kembali. Meskipun begitu, Pram tetap mencoba menjauhkan diri dari segala bentuk nostalgia, baik kepada tradisi maupun kehidupan pedesaan—ini terutama muncul dalam Cerita dari Jakarta yang mengetengahkan tokoh-tokoh kaum rantauan kelas bawah. Kampung tidak dibayangkan sebagai kerinduan. Betapapun melaratnya, tokoh-tokoh dalam kumpulan cerpen ini menunjukkan perlawanan mereka. Kemauan untuk melawan apa yang terberi oleh alam dan keadaan adalah salah satu ciri subyektivitas modern (Puisi dan Anti Puisi, 175:2011).

Subyek, kenyataan, dan pernyataan, menemukan titik temunya dalam realisme-sosialis. Dalam konsep ini, manusia yang menjadi pusatnya pun ditampilkan selalu menang—suatu ciri optimisme yang lekat dengannya. Sekali Peristiwa di Banten Selatan, karya pertama Pram semenjak ditunjuk sebagai anggota Komite Sentral Lekra dan merupakan hasil reportase perjalanannya ke Banten pada tahun 1957 pun tak lepas dari nalar subyektif ini. Perlawanan kaum tani, prajurit, dan lain-lain dalam melawan gerombolan DI/TII dituturkan sebagai peristiwa kebangkitan kesadaran yang berbuah keberhasilan yang manis, lengkap dengan perayaan kemenangan penuh retorika itu.

GM mempertanyakan adakah memang Pram meniatkan karya ini untuk merekam “manusia biasa” dan “nuansa”nya sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh A. Teeuw? Menurutnya realisme-sosialis tidak menghendaki itu; dalam realisme-sosialis, seperti dalam teknologi dan industri, asal adalah proposisi tentang tujuan. Asal inilah yang menjadi asas, yang mengontrol dalam arti mengawasi dan menertibkan seluruh proses terjadinya karya. Bawah sadar tidak diperhitungkan dalam realisme-sosialis. Kesadaran yang diharapkan adalah kesadaran yang transparan dan taat asas alias kesadaran yang berarah.

Akan tetapi, nalar ideal ini pun problematis adanya, terlebih ketika subyektivitas ini didekatkan dengan kesadaran proletariat. Kemudian nalar ideal ini diwakili Partai, dan Partai diwakili oleh aparatus. Politik sebagai panglima lantas menjelma sebagai formula yang membeku tak ubahnya rumus para birokrat.

Di sini GM lebih setuju dengan Lukacs yang menyerukan agar seni dan sastra semestinya pindah dari pandangan birokrat dan kembali ke “tribun”—sebuah metafor tentang suasana yang berkobar di awal Revolusi Oktober. Di tribun itulah seorang revolusioner punya kontak langsung dengan orang ramai tanpa perantaraan kekuasaan lain.

Apa yang disiasati Lekra dengan gerakan turun ke bawah sebagai bagian dari upaya menyerap kisah dan masalah rakyat dinilai kurang cukup. Persoalan selanjutnya ialah bagaimana menghadirkan kembali kenyataan itu dalam bentuk-bentuk pernyataan yang kuat dan mengena. Di sinilah titik problem yang lain: para sastrawan Lekra tahun 1960-an, mengikuti Zhdanov sang pencetus realisme-sosialis, terlanjur merapatkan bukan hanya “isi” tetapi juga “bentuk”—sesuatu yang menurut Pablo Neruda dianggap sebagai “pengerasan yang gawat” dalam kebudayaan Soviet dan lupa bahwa revolusi adalah hidup. Lukacs menyebutnya optimisme formal, kosong, birokratis, yang pada awalnya kelihatan sosialis namun sebenarnya mati, hampa ide, tak berguna dan tak efektif baik secara estetik maupun propaganda. (Puisi dan Antipuisi, 180:2011).

Lebih jauh, GM menambahkan bahwa ada yang tidak ditilik oleh teoritikus realisme-sosialis, termasuk oleh Pramoedya, bahwa begitu tujuan penulisan telah menjadi prinsip dan proses kreatif menjadi instrumennya, maka sebenarnya sang subyek itu telah menjelma obyek, dalam hal ini obyek dari ideologi dan politik. Sang subyek itu tidak lagi memiliki kebebasannya. Arah penciptaan diatur dalam proses garis lurus, antara pengarang-karya-pembaca, suatu totalitas penciptaan yang diangan-angankan.

Tradisi Kritik

Persepsi bahwa Pram dan GM yang selalu berseberangan boleh jadi terbentuk karena dasar-dasar yang sifatnya serba politis, das politische ala Carl Schmitt, bahwa hubungan terbentuk dalam kerangka antagonistis, bingkai kawan maupun lawan. Namun, jika misalnya kita menengok kembali pemikiran keduanya, sejatinya mereka tetap menawarkan hal yang serupa, yakni upaya menjadikan kesenian, dan sastra, sebagai medium menyuarakan kemanusiaan—kendati tentu dengan pendekatan yang berbeda.

Bila Pram meyakini manusia sebagai pencerita paling sahih untuk mewartakan humanisme, GM memandang bahwa selalu ada kemungkinan cara pandang lain dalam mengumandangkan kemanusiaan. Ketika Pram meyakini karya sastra mesti mewakili semangat kerja keras bersama dan ditegaskan dalam garis-garis politik sosialis, GM melihat ini sebagai bentuk penyeragaman yang menjadi batu sandungan terhadap kreativitas. Perlu ditambahkan selanjutnya bahwa GM sebenarnya tidak antipati pada ideologi kiri dan sosialis, malah dalam beberapa sisi bersimpati pada kreativitas ala Brecht, seorang kiri yang memilih berpisah jalan dengan haluan partai yang baginya membelenggu. GM, hampir sama seperti Brecht, percaya bahwa sosialisme dapat sekaligus menawarkan pembebasan. GM membaca, menelaah dan dalam beberapa situasi justru mengadaptasi pendekatan kiri, baik secara kekaryaan maupun kiprahnya sebagai pendiri Majalah TEMPO, media yang kita tahu berani menghadapi rezim Orde Baru dan karenanya berkali mengalami pembredelan.

Menarik untuk mencatat bagaimana tradisi dialog dan kritik era 1950 -1960an tumbuh dan mempengaruhi perkembangan wacana dan karya sastra di tahun-tahun selanjutnya. Media massa pada waktu itu tidak hanya menghadirkan karya-karya sastra yang terkurasi (misalnya dulu dilakukan oleh STA dan diteruskan HB Jassin), melainkan juga memajang perdebatan intelektual yang merespons peran kesusastraan bagi bangsa Indonesia yang baru saja merdeka. Gema polemik kebudayaan era Pujangga Baru masih terasa, mendorong beberapa penulis untuk menimbang kembali kehadiran karya sastra dalam kelindan konteks kelokalan, keindonesiaan, dan kaitannya dengan sejarah dunia. Meskipun milleu sastra kala itu berada pada kompleksitas posisi dan perannya, tradisi kritik yang berdasar pada kekuatan teks masih coba dipertahankan, salah satunya oleh Jassin. Namun, zaman kadangkala punya kehendak lain: seberapapun analisis atas karya dikedepankan, situasi era itu yang dibayang-bayangi gairah revolusi yang menuntut partisipasi lebih besar para seniman. Dan politik dipandang sebagai jalan peneguhan sikap, bahkan untuk soal kreativitas sekalipun.

Maka perdebatan yang tadinya bertitik pangkal dari kekaryaan kian condong ke sikap-sikap politis pengarang, dan akhirnya mengubah tradisi kritik ke dalam situasi polemik. Perbincangan perihal pokok seringkali terkaburkan oleh pandangan akan sosok, yang pada keadaan berikutnya menebalkan garis-garis pemilahan. Termasuk demikian yang terjadi antara Manifes Kebudayaan dan Lekra.

Pram dan GM adalah pemikir yang berada dalam kelindan zaman yang terjal, termasuk dalam bayang-bayang kuasa negara yang dapat dengan mudah memainkan laku otoritatifnya. Para sastrawan ini tumbuh dari tradisi intelektual penuh perdebatan, sesuatu yang membutuhkan nalar kritis sekaligus kesabaran. Namun, berkali sejarah menunjukan bahwa mereka yang terbutakan hasrat berkuasa seringkali mengabaikan proses dialog dan mengambil jalan singkat demi melanggengkan kuasa, yaitu lewat pelarangan dan pemberangusan. Baik Pram maupun GM, dengan pengalamannya masing-masing, mengalami bagaimana hak sebagai manusia dapat begitu mudah dirampas oleh nalar kuasa ini. Dan dengan begitu mereka sebenarnya melawan musuh yang sama dan boleh dikata mereka tak sepenuhnya saling berseberangan.

Esai ini ditulis sebagai bahan makalah Seminar 80 Tahun Goenawan Mohammad, 2021.


[1] Potret Penyait Muda sebagai Si Malin Kundang (1972)

[2] Majalah TEMPO 3-9 April 2000

[3] Puisi dan Antipuisi, Goenawan Mohamad, 2011

[4] Seni Marxisme dan Pembebasan, Goenawan Mohammad, 2011

[5] Sastra, No. 1, Vol. 11, 1962, disadur dari Goenawan Mohammad, Seni Marxisme dan Pembebasan, 2011.

Tinggalkan komentar